Wednesday 17 December 2008

Hukum pidana pencucian uang

Hukum pidana pencucian uang

Pencucian uang (disebut dengan istilah Money Laundering). Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip oleh Munir Fuady[1] menge-mukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak tahun 1830. Pada waktu itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat gangster besar yang piawai masalah pencucian uang di Amerika Serikat yang terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelom-pok ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki sebagai bapak Money Laundering Modern.
Setelah memasuki tahun 1980 an kegiatan ini semakin jadi dengan banyaknya penjualan obat bius. Bertolak dari sini dikenal istilah narco dollar atau drug money yang merupakan uang hasil penjualan narkotika. Perkembangan selanjutnya uang panas itu disimpan di lembaga keuangan antaranya di bank. Penyimpanan uang panas ini dengan tujuan agar uang hasil dari kejahatan itu menjadi legal.
Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. [2]
Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan menumbuh subur-kan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional maupun modern,sehing-ga samar perbuatan yang legal dan illegal.
Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut KUHP. Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama .
Kejahatan berkembang seiring perkembangan IPTEK. Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai. Akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik money laundering bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri.
Sifat money laundering menjadi universal dan bersifat internasional yakni melin tasi batas-batas yurisdiksi negara[3]. Berarti Money laundering berhubungan dengan dan dicapai dengan kemajuan teknologi melalui system cyberspace (internet), pembayaran dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment)[4] Sudarmadji salah seorang penasehat hukum Bank Indonesia[5] menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang merupakan pemicu money laundering. Money Laundering dapat menimbulkan ketidak percayaan nasabah dan masyarakat kepada sistem perbankan.
Apabila dikatakan bahwa kegiatan pencucian uang telah menembus batas negara berarti pemahaman hukum pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan azas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tepi juga dapat ditransfer ke negara lain de-ngan berbagai macam cara dan kepentingan. Ada kepentingan untuk membiayai kegiat-an teroris dan ada juga untuk proses bisnis. Kegiatan semacam ini melibatkan lebih dari satu hukum pidana nasional.
Kasus-kasus kejahatan money laundering [6] seperti mantan Presiden Phillipina Ferdinand Marcos, uang hasil tindak pidana koroupsi disimpan di bank Credit Suisse. Mantan Presiden negara Panama yaitu Noriega. Noriega melakukan perdagangan obat bius. Kegiatan money laundering sampai ke Amerika serikat sehingga akhirnya dia di penjarakan di Amerika.
Kegiatan money laundering oleh bank seperti kasus Bank Bank of Credit & Commerce Internasional (BCCI) tahun 1991. Salah satu kasus BCCI adalah dibukanya rekening di BCCI oleh sebuah kantor konsultan keuangan yang mengatakan mempunyai klien berupa investor kaya di negara Amerika Latin. Jenis-jenis kejahatan money laun-dering yang dilakukan BCCI berhubungan dengan perdagangan obat bius. BCCI ber-tindak sebagai penyalur uang hasil transaksi itu. Kemudian tahun 1990 Dinas Bea dan Cukai Amerika Serikat berhasil membongkar jaringan perdagangan obat bius yang melibatkan BCCI.
Kasus Chemical Bank tahun 1977. Chemical Bank cabang New York melalui salah seorang manajernya menerima suap dari seorang yang terlibat dalam perdagangan obat bius agar transaskinya berupa setoran uang (hasil kejahatan) dalam rekening valas tersebut tidak dilaporkan dengan tidak mengisi formilir Currency Transaction Report (CTR).
Jika diperhatikan uang hasil money laundering itu telah melalui dua periode. Pertama uang itu diperoleh dari kejahatan, kedua uang itu dibersihkan melalui money laundering dengan berbagai cara sehingga menjadikan uang itu legal.
Memperhatikan konvensi yang berhubungan dengan money laundering dan kasus money laundering, nampak kejahatan ini tersusun rapi dan bersifat internasional.
Munir Fuady menyebutkan bahwa money laundering merupakan kejahatan yang teror-ganisir (organized crime). Menurut hemat penulis tentu ada beberapa parameter untuk menentukan bahwa kejahatan money laundering ini merupakan kejahatan terorganisir.
Kriminalisasi suatu tindak pidana merupakan bagian dari proses penegakan hukum pidana. Penegakan hukum Pidana melalui tiga tahap[7] diantaranya tahap formulasi. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislative[8]. Pada tahap inilah terjadi proses kriminalisasi. Pada proses kriminalisasi tidak saja hanya merumuskan tindak pidana be-serta sanksinya saja, akan tetapi menentukan atau memberikan sifat apakah tindak pidana ini tindak pidana konvensional atau transnasional. Jika tindak pidana itu bersifat transnasional menunjukkan indikasi bahwa tindak pidana itu melampaui batas negara dan tidak terikat dengan yurisdiksi hukum satu negara saja. Semua negara (lebih dari satu) negara yang mengatur tindakan itu merupakan tindak pidana.
Demikian juga kegitan dan pelaku, tentunya pelaku tidak terlepas dari perkem-bangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada tingkat internasional ada suatu konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. Berdasarkan kon-vensi ini RI telah meratifikasi dengan UU No 7 tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini baru pada tahun 2002 RI membuat UU No 15 tahun 2002 menyatakan bahwa money laundering sebagai tindak pidana. UU No 15 tahun 2002 kemudian diubah dengan UU No 25 tahun 2003.
Konsideran UU No 15 tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau inter-nasional mela-lui forum bilateral atau multilateral,....
Konsideran UU No 25 tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka UU No 15tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.
Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah).
Kriminalisasi pencucian uang terdapat dalam Pasal 3. UU No 25 tahun 2003[9]. Rumusan Pasal 3 paralel dengan rumusan Pasal 1 angka 1. Pencucian uang adalah per-buatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, me-nyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lain-nya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pi-dana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta keka-yaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Ada 8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam pencucian uang. yaitu :
1. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya
2. Perusahaan Swasta
3. Real estate
4. Deposit Taking Institution dan Money Changer
5. Institusi Penanaman Uang Asing
6. Pasar Modal dan Pasar uang.
7. Emas dan Barang Antik
8. Kantor konsultan keuangan
Menurut UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan public yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. (Pasasl 1 angka 13). Pasar Uang adalah sarana yang menyediakan pembaiayaan jangka pendek (kurang dari satu tahun). Pasar uang tidak mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan antara lain : surat berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lemabaga – lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan bank sentral [13].
2.5. Tahapan[14]
1. Placement.
Tahap ini upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam system keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito, dll) kembali ke dalam system keuangan, terutama system perbankan.
2. Layering
Upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement ) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi pene-gak hukum untuk dapat mengetahui assal usul harta kekayaan tersebut.
3. Integration.
Upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang te-lah berhasil masuk ke dalam system keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Pencucian uang sebagai kejhahatan terorgaanisir dilakukan oleh orang yang me-nguasai dunia penyedia jasa keuangan baik bank maupun non bank Tindak pidana seba-gai mana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat saja dilakukan oleh siapa saja.
Akan tetapi untuk melanjutkannya ke tingkat pencucian uang diperlukan pengetahuan khusus tentang dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan harus menguasasi ilmu pengetah-uan computer. Pencucian uang merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih tidak ada rumusan yang jelas baik dari sisi kriminologi maupun dalam perundang-undangan. Pergerakan kejahatan kerah putih sangat luas yang dapat meliputi perekonomian, keuangan, ... dan biasanya dilakukan secara terorganisir (organized crime)[16].
Kejahatan kerah putih dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mulai dari manual hingga exrtra sophisticated atau super canggih yang memasuki dunia maya (cyberspace) sehingga kejahatan kerah putih dalam bidang pencucian uang disebut dengan cyber laundering[17] merupakan bagian dari cyber crime yang didukung oleh pengetahuan tentang bank, bisnis, electronic banking.yang cukup. Contoh kasus pencucian uang yang tergolong sebagai kejahatan teroraganisir seperti kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI), Pizza Connection, Penyelundupan uang dan Kasus Nusse. Kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI
Kegiatan pencucian uang bukan merupakan kejahatan baru ditemukan. Kejahatan ini pertama kali muncul di negara maju sebagai akibat perkembangan perda-gangan obat bius (narkotika). Kejahatan terorganisir seperti Pencucian uang tidak hanya didasarkan kepada jumlah pelaku. Pencucian uang dilakukan tidak saja secara terorganisir berdasarkan jumlah pelaku akan tetapi sistematis yang dapat melintasi batas yurisdiksi negara. Kejahatan terorganisir dibentuk berdasarkan sistematika kerja yang tersusun secara rapi. Jaringan tidak harus bersifat permanent akan tetapi daya kerja harus dinamis.. Antara model, modus operandi, metode serta instrumen disesuaikan sehingga dapat berlaku efektif. Unsur model tidak bersifat mutlak,tanpa model kegiatan pencuciasn uang dapat terlaksana. Kejahatan teroganisir selalu didukung oleh perkembangan teknologi serta berpeluang pada cyber space sehingga kejahatan terorganisir disebut cyber crime termasuk pencucian uang.

Daftar Pustaka
Marulak Pardede. 1995.Hukum Pidana Bank. Pustaka Sinar Harapan Jakarta
M.Irsan Nasarudin dan Indera Surya 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Kencana Jakarta.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang
Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. PT. CirtraAditya Bakti Bandung
NHT. Siahaan. 2005. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta,
Romli Atmasasmita, 2003. Pengantar Hukum Bisnis

Tuesday 16 December 2008

Latar belakang tentang berlakunya hukum pidana internasional

Latar belakang tentang berlakunya hukum pidana internasional

G.J. Starke dan J.L. Brierly berpendapat bahwa masyarakat internasional itu pada hakikatnya adalah masyarakat bangsa-bangsa yang sudah menegara. Adanya prinsip hidup bersama atau hidup berdampingan yang terwujud dalam bentuk : hubungan, kontak, relasi yang bersifat jalin-menjalin dan terus menerus. Adanya sejumlah negara saja, belum berarti atau belum menjamin adanya suatu masyarakat negera-negara tersebut, hidup secara terpisah dan terpencil satu sama lainnya, hal ini berarti bahwa antara bangsa atau negara yang satu dengan yang lainnya, harus ada hubungan, kontak, relasi satu sama lainnya yang bersifat jalin menjalin dan kontinu atau terus menerus. Adanya kepentingan atau tujuan bersama, adanya hubungan dan kontak yang bersifat jalin menjalin dan terus menerus, disebabkan kepentingan atau tujuan bersama, yang ingin dicapai atau dipenuhi masing-masing bangsa atau negara tersebut, Kepentingan dan tujuan bersama ini, hanya dapat tercipa dengan negara-negara lainnya.Kepentingan atau tujuan bersama yang dimaksudkan, sangat komplek dan bevariasi yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan. Adanya Hukum Pidana Internasional karena adanya masyarakat internasional sebagaimana adanya hukum karena adanya masyarakat. Masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis hukum pidana internasional dan sekaligus Hukum Pidana Internasional. Hukum Pidana Internasional pada hakekatnya merupakan suatu sistem hukum yang harus mempunyai substansi hukum berisikan materi-materi tindak pidana-tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana bagi setiap individu maupun negara yang melakukan tindak pidana yang telah ditetapkan dalam hukum pidana internasional.Untuk menjalankan substansi hukum tersebut, harus didukung dengan struktur hukum dalam menegakkan hukum pidana internasional materiil. Selain itu juga harus didukung oleh budaya hukum yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan kepatuhan masyarakat internasional terhadap apa yang terkandung dalam substansi hukum pidana internasional.Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan kebutuhan sejumoah negara-negara. Keadaan ini tentunya menciptakan saling ketergantungan diantara negara-negara. Dan untuk mengatasi serta mencegah ketergantungan antara negara-negara, meka negara yang satu perlu mengadakan hubungan, kontak pergaulan dengan sesama negara lain di dalam pelbagai kehidupan. Dengan adanya saling membutuhkan diantara negara yang satu dengan yang lainnya mengakibatkan tumbuhnya hubungan yang bersifat tetap, jalin menjalin dan berkesinambungan.Masyarakat internasional selalu dalam keadaan dinamis dan perlu mengadakan perubahan-perubahan. Perubahan pertama dan mendasar adalah perubahan pada peta bumi politik, yang terjadi terutama setelah Perang Dunia ke-II. Hal mana pada saat sebelumnya, masyarakat internasional dibagi dalam beberapa negara besar, berubah menjadi satu masyarakat bangsa-bangsa yang terdiri dari banyak sekali negara.Perkembangan kedua, mempunyai akibat dan pengaruh yang sangat besar bagi pelaku-pelaku tindak pidana yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknilogi, sehingga sangat mempengaruhi masyarakat internasional dan Hukum Pidana Internasional. Dengan memanfaatkan kemajuan sarana transportasi, telekomunikasi, sarana kimiawi dan sarana teknologi lainnya dalam rangka menghilangkan jejak, bukti dan lain sebagainya, sehingga pelaku tindak pidana tidak dapat dan sulit dilacak baik oleh hukum pidana nasional maupun Hukum Pidana Internasional.Perkembangan ketiga yaitu perubahan struktur organisasi masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara yang berdaulat. Dengan timbulnya organisasi-organisasi internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara. Dipihak lain, ada perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada individu-individu dalam hal-hal tertentu. Timbulnya organisasi-organisasi intrnasional dan kompetensi hukum kepada individu menujukkan mulai terlaksananya satu masyarakat internasional di dalam arti yang benar dan efektif didasarkan atas asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antara negara, sehingga terjelma Hukum Internasional, bila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh negara dan tidak efektifnya Hukum Pidana Nasional, maka sangat diperlukan Hukum Pidana Internasional yang efektif dalam penegakan Hukum Pidana Internsional.Berbicara Hukum Pidana Internasional, juga tidak terlepas dari sebuah sejarah panjang dari tindak pidana yang terjadi sejak era perkembangan masyarakat internasional, tradisional sampai dengan perkembangan era masyarakat modern. Sejarah dimulai sejak Abad 16 Masehi yang merupakan era Kerajaan Romawi dibawah Kaisar Justinianus, dimana dengan kekuatan undang-undang, Justinianus telah memberikan dukungan perdamaian ke seluruh Kerajaan Romawi termasuk jajahanya. Peraturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada sebab yang layak dan benar, diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku dan dilaksanakan dengan cara cara yang benar. Pengaturan tersebut berasal dari pengajaran hukum yang diberikan oleh ahli-ahli hukum seperti Cicero dan St Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasionalPada era Paska Perang Salib, perkembangan tindak pidana internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut, yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu, namun demikian perang tetap merupakan tindakan yang dipandang tidak layak dan masih dipersoalkan terutama dikalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu.Era Francisco de Vittoria 1480-1546, penjajahan disertai dengan penyebarluasan agama Kristen dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman telah berkecamuk terutama yang telah dilakukan oleh Kerajaan Spanyol terhadap penduduk pribumi Indian, pada masa itu munculah seorang professor theologia, Francisco de Vittoria yang memperingatkan kerajaan bahwa ancaman perang dan peperangan tidak dapat dibenakan dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan dan kemenangan yang bersifat pribadi sekalipun dengan alasan untuk self defence, maka kerugian atau kekerasan sedapat-dapatnya diperkecil, Pandangan dari Vittoria ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi perkembangan hukum hukum pidana internasional pada masa yang akan datangPerkembangan pesat tentang masalah perang di dalam sejarah hukum internasional terjadi pada abad 16-18 ketika penulis-penulis terkenal seperti, Alberto Gentili, Francisco Suarez, Samuel dan Emerich de Vattel telah membahas dan mencari dasar-dasar hukum suatu peperangan. Namun seorang tokoh yang terkenal pada masa itu adalah seorang ahli hukum Belanda, Hugo Grotius yang telah menulis dan menerbitkan sebuah treatise “ the Law of War and Peace in The Tree Books” pada tahun 1625Perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I, ternyata dalam praktek hukum Internasional tedak berhasil melaksanakan ketentuan pasal 227 yang menetapkan antara lain penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan perangPada masa 1920 telah tampak adanya upaya pembentukan mahkamah pidana internasional terutama setelah terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, upaya ini berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka antara lain Vespasien Pella, Megalos Ciloyanni dan Rafael. Dukungan atas upaya tersebut juga berdatangan dari perkumpulan masyarakat internationalEra tahun 1927 Liga bangsa-bangsa telah membuka era baru dalam sejarah hukum pidana internasional dengan menetapkan bahwa perang agresi atau a war of aggression merupakan internasional crime, bahkan pernyataan LBB tersebut merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang hukum pidana internasional. Namun demikian pada saat itu pembentukan suatu Mahkamah Internasional yang dapat menetapkan telah terjadinya pelanggaran atas kodifikasi tersebut masih belum secara serius diperbincagkan. Perang Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani di antara Negara anggota liga bangsa-bangsa. Pelanggaran pelanggaran tersebut adalah dalam bentuk kekejaman yang tiada taranya serta pelanggaran atas hukum perang yang tiada bandingnya oleh pihak tentara jerman dan sekutunya, kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untk mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional. Profesor Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan bahwa pembentukan mahkamah itu sangat penting untuk mengadili penjahat perang dan sekaligus membawa akibat penting terhadap perbaikan perbaikan di dalam hubungan internasional.Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia kedua dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya dikota Danzig litzkrieg, pada Tahun 1940, Hitle rmenaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia dan Perancis. Tahun tersebut merupakan tahun kemenagan NaziJerman. Dalam waktu yang bersamaan dengan perang dunia kedua, bahkan jauh sebelumnya, Hitle rtelah melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi hamper diseluruh daratan Eropa.Genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah holocaust. Secara harafiah ‘holocaust’ berart ideskripsi genosida yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas diEropa dan Afrika Utara selama perang dunia kedua oleh Nazi JermanPada tahun 1947 masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional diserahkan kepada Internasioanal law Commision, yang terdiri dari kelompok ahli hukum terkemuka dari seluruh Negara , yang dibentuk oleh PBB dan bertugas menyusun suatu kodifikasi hukum internasional, bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masayarakat internasional melalui PBB telah sepakat dan menempatkan kejahatan-kejahatan yang dilakaukan semasa peperangan sebagai kejahatan yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, kejahatan-kejahatan itu antara lain agresi, kejahatan perang, pembasmian etnis tertentu, pembajakan laut dll.Resolusi PBB, 21 November 1947, bahwa sampai dengan awal abad ke-20 hukum pidana internasional belum memasyarakat dikalangan pakar-pakar hukum di Negara yang menganut system hukum common law.Pengakuan secara internasional terhadap pentingnya internasional criminal law pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan oleh Sidang Umum Perserikatan bangsa-bangsa tanggal 21 November 1947, resolusi menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional. Era Tokyo Trial 1948 Tanggal 23 Desember 1948, berdasarkan keputusan pengadilan internasional di Tokyo, Jepang, tujuh orang pemimpin negara ini pada era Perang Dunia II, menjalani hukuman mati. Pengadilan di Jepang ini merupakan lanjutan dari pengadilan Nurenberg Jerman yang dilakukan untuk mengadili para penjahat perang. Sebanyak 25 orang pejabat Jepang diadili dan 18 di antaranya dijatuhi hukuman penjara. Hideki Toyo, Perdana Menteri Jepang pada era PD II adalah pejabat tertinggi yang diadili di pengadilan internasional Jepang itu dan dijatuhi hukuman mati.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulssalam, Hukum Pidana Internasional, Restu Bandung, Jakarta, 2006.
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung
Brownlie Ian, 1999, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Clarendon Press, Oxford
Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty.
Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra Abardin
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju, Bandung
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung