Sunday 4 January 2009

Terpuruknya hukum di Indonesia

Terpuruknya hukum di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.

II. PERMASALAHAN
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?

III. PEMBAHASAN
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary.
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

IV. PENUTUP/KESIMPULAN
Untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia yang selalu dimuat diberbagai media, bahkan menjadi bahan olok-olok dikampung-kampung, maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal procedural itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia ; penyebab dan solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Anis Ibrahim, Hukum Progresif : Pencarian, pembebasan dan pencerahan, Majalah Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, April 2006.
Denny Indrayana, Let’s Kill the Lawyer (catatan kasus Elza Syarief), Kompas, 13 Mei 2002.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Kerja sama IAIN Walisongo dengan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004.

disparitas penjatuhan sanksi pidana hukum

disparitas penjatuhan sanksi pidana hukum

A.LATAR BELAKANG

Berdasarkan catatan Komisi Yudisial (KY) “dalam kurun tahun 2005 sampai 2007tercatat ada 3.120 putusan hakim yang dianggap bermasalah/menyimpang (Suara Merdeka Edisi Senin 31 Desember 2007). Hal ini tentu membuat kita prihatin karena semakin hari nasib penegakan hukum di Negara Indonesia tidak mengalami kemajuan akan tetapi justru sebaliknya mengalami kemunduran.
Sebuah doktrin hukum yang berbunyi “Res Judicate Pro Veritate Hebetur”, yang artinya bahwa apa yang diputus oleh Hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar, sehingga mengikat sampai tidak dibatalkan oleh pengadilan lain.
Doktrin hukum diatas menempatkan Pengadilan sebagai titik sentral konsep Negara hukum. Indonesia menganut konsep Negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaats).
Sejalan dengan konsepsi Negara hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegah teguh azas “Rule of Law”. Untuk mengakkan Rule of Law para Hakim dan Mahkamah Pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Supremasi hukum
b. Equality Before The Law
c. Human Rights
Ketiga hal tersebut adalah konsekwensi logis dari prinsip-prinsip Negara hukum, yakni :
a. Azas Legalitas (Principle of Legality)
b. Azas perlindungan HAM (Principle of Protection of Human Right)
c. Azas Peradilan Bebas (Free Justice Principle)
Mendasarkan pada fungsi peradilan di atas, maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya Integrated Criminal Justice System dan lebih khusus lagi adalah perilaku Hakim menjadi salah satu barometer utama dari suatu Negara hukum untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik sentral dalam proses penegakan hukum (Law enforcement prosess) yang harus memberikan teladan dan konsekwen dalam menjalankan hukum dan undang-undang.
Kahadiran lembaga peradilan adalah menjadi sebuah syarat mutlak bagi suatu Negara hukum yang dibentuk untuk mengawasi dan melaksanakan aturan hukum dan undang-undang suatu Negara. Pengawasan dilakukan sebagai “balance” terhadap pemerintah di dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan bagi rakyat dapat menjadi pedoman dalam hal-hal mana ia harus berbuat sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, lembaga peradilan tidak lain daripada sebuah badan pengawas, pelaksanan hukum dan sekaligus sebagai benteng penegak hukum dan keadilan. Ini makna dan hakikat dari azas peradilan yang bebas. Dengan demikian eksistensi peradialn bebas dalam Negara hukum dan Negara demokrasi merupakan “Conditio Sine Quanon” (harus tidak boleh tidak adanya).
Dalam praktik, prinsip-prinsip peradilan yang bebas tidak selalu konsisten diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan praktek peradilan. Sering terjadi kesenjangan dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana sehingga bermunculan issue-issue yang acapkali menyeruak seperti mafia peradilan, KUHP disingkat (Kasih Uang Habis Perkara), kebobrokan dunia peradilan, suap menyuap, konspirasi dan istilah-istilah lain yang serupa.
Issue-issue semacam ini tentunya tidak akan muncul ketika dalam kenyataan keadilan terwujud atau dengan kata lain issue-issue itu tidak akan muncul ketika tidak terjadi ketidakadilan dalam proses peradilan. Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji dan diteliti lebih mendalam apa sebenarnya yang terjadi dalam proses peradilan dan apa sebenarnya yang menjadi faktor-faktor penyebab sehingga terjadi perbedaaan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Muncul dibenak kita mengapa sampai begitu banyak putusan hakim yang menyimpang, itu yang terdeteksi, padahal masih banyak putusan-putusan hakim menyimpang yang belum terlaporkan atau terdeteksi. Apakah penyimpangan putusan tersebut semata-mata hanya karena kecurangan hakim ataukah kecurangan semua yang terlibat di dalam proses penegakkan hukum?
Bahwa salah satu sebab timbulnya diskrepansi dalam praktek peradilan adalah falsafah yang melatarbelakangi system hukum dan perundang-undangan. Sebagaimana diketahui bahwa system hukum dan perundang-undangan Indonesia berlatrbelakang Analytical Legal Positivism yang berlandaskan falsafah liberalisme, indivisudlaisme dan rationalisme. Falsafah ini bersumber dari falsafah Revolusi Industri Perancis abad XVIII yakni Liberty, Egality dan Fraternity, sebuah sistem hukum berkarakter liberal-individual. Maka substansi, doktrin, azas dan lain perlengkapan (konstruksi, sistematika dan interprestasi) diberlakukan untuk mengamankan paradigma nilai liberal tersebut. Dengan demikian tidak mengherankan apabila system hukum berkarakter liberal ini dirancang terutama untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu.
Indonesia yang menganut aliran positivesme dalam hukum pidananya yang memberikan kebebasan hakim yang lebih luas sehingga besar kemungkinannya untuk dapat terjadinya disparitas dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan Undang-undang hanya dipakai sebagai pedoman pemberian pidana yaitu pedoman maksimal dan minimal saja. Disparitas penjatuhan sanksi pidana akan berakibat buruk, bilamana dikaitkan dengan “correction administration”. Terpidana yang telah memperbandingkan pidana kemudian meras menjadi korban “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target dalam pemidanaan.
Bahwa disparitas yang mencolok dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana selain menimbulkan ketidakadilan dimata para pelaku tindak pidana pada khususnya dan masyarakat pada umumnya juga akan menimbulkan ketidakpuasan dikalangan para pelaku tindak pidana itu sendiri dan juga di kalangan masyarakat .
Konsekwensi logis dari system hukum berjiwa liberal individual, system hukum memiliki karakter kelas (the class character of law) system hukum adalah mekanisme yang secara langsung atau tidak langsung melayani kepentingan-kepentingan kelas ekonomi dan kelas politik yuang dominan.
Kiranya benar kritikan Unger bahwa praktek yurisprudensi (teeori) hukum liberal gagal mengangani issue-issue seperti diskriminasi ras, gender, ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, peperangan dan seterusnya. Kebutuhan teori hukum liberal mengandung apa yang mereka tuduhkan sebagai “incohenrent internally inconsistent” dan “Self-contradictorry”.
Kritikan yang cukup tajam dari Unger di atas, kiranya cukup atau seringkali mewarnai berbagai putusan Pengadilan. Dengan kata lain, berbagai putusan pengadilan tidak lepas dari kritikan Unger di atas. Kegagalan hukummodern yang notabene liberal kapitalistik ini dibuktikan dengan ketidakmampuan hukum menjangkau kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat tinggi/elit politik, dan dalam dunia peradilan juga gagal total dengan dibuktikan ketidakmampuan pengadilan dalam menjalankan fungsinya sebagai peradilan yang bebas dan mandiri.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah benar timbulnya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh Pengadilan disebabkan oleh adanya konspirasi antara aparat penegak hukum dengan masyarakat / pihak yang berperkara (pelaku maupun korban).
2. Bagaimana usaha-usaha untuk meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh pengadilan?

C. KERANGKA TEORI

1. Fungsi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan
Setiap penelitian haruslah disertai dengna pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbale balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, kontruksi data dan pengolahan data dan analisa data.
Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang satu dengan yang lain tidak hanya saling bertentangan tetapi kadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia bersikap dan berbuat.
Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan orang lain, maka hukum meberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak bebas sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai kebutuhannya itu. Fungsi yang demikianitu terdapat pada setiap jenis hukum termasuk di dalamnya hukum pidana, karena itu fungsi yang demikian disebut fungsi umum hukum pidana.
Pidana dalam hukum pidana adalah salah satu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakn tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana.
Berkaitan dengan hal itu H.I. Packer yang dikutip Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut :
1. Sanksi pidana sangatlah penting diperlukan, karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The Criminal sanction is dispensable : We could not now or in the foresseable future, get along without it);
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (Thecriminal sanction is the best available divice we have for dealing with gross and immediate harms ang threats of harm);
3. Sanksi pidana merupakan “penjamin utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat, manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime theatener of human freedom, used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is theatener)

Materi/substansi atau masalah pokok dari hukum pidana terletak pada masalah mengenai : a) perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau dapat disebut masalah “tindak pidana:; b) syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau dapat disebut dengan masalah “kesalahan”; c) Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu, atau dapat disebut dengan masalah “pidana”.
Penggunaan sanksi pidana atau pemidanaan haruslah diarahkan kepada tujuan pemidanaan yang bersifat integrative yaitu : a) perlindungan masyarakat; b) memelihara solidaritas; c) pencegahan (umum dan khusus), dan d) pengimbalan atau pengimbangan.
Sesuai dengan azaz legalitas (Principle of legality), azaz yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege, (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) . Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege ini berasal dari von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833).
Azas kesatu dari Pasal 1 ayat (1) KUHP ini hanya menentukan, bahwa sanksi pidananya saja yang harus ditentukan dengan undang-undang. Norma-normanya mengikuti system dalam bidang hukum masing-masing, yaitu hukum perdata, atau hukum tata Negara, atau hukum tata usaha negara, yang semua memberi peranan sepenuhnya kepada adapt kebiasaan dan lain-lain peraturan yang bukan undang-undang, seperti peraturan pemerintah, peraturan Menteri, dan macam instruksi dalam dinas administrasi.
Penentuan syarat perundang-undangan ini ada hubungan dengan kenyataa, bahwa sanksi pidana pada sifatnya keras daripada sanksi perdata atau sanksi administrasi, dan merupakan ultimum remedium atau senjata pamungkas (terakhir) untuk menegakkan tata hukum.
Menurut Mulyatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordgestraft”, merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana “ untuk menggantikan kata “wordtgestraft”.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka sekadar melanggar larangan tersebut.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan pengenaan penderitaan atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Mengenai permasalahan pidana yang ketiga, menyangkut soal pidana. Persoalan yang muncul sehubungan dengan pidana, meliputi jenis pidana, ukuran atau lamanya pidana yang dijatuhkan dan pelaksanaan pidana . Hal tersebut menyangkut asas dalam penjatuhan pidana yang hendaknya diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Asas individualisasi pidana, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggung jawaban pembuat lebih bersifat tindakan untuk melindungi masyarakat. Jika digunakan pidana, maka harus diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Harus memperhatikan latar belakang dan seluruh fase kehidupan pembuat dengan tujuan untuk mengadakan resosialisasi pembuat.
Seseorang yang telah melakukan tindak pidana dan telah memenuhi syarat untuk dapat dilakukan pemidanaan atas dirinya maka ia dapat dijatuhi pidana, dan yang berhak menjatuhkan pidana adalah Hakim. Penambahan hukuman dengan tindakan-tindakan tata tertib, yang demikian – merupakan perluasan dengan kewenangan di luar hukuman mengakibatkan batas-batas kewenangan dan hakim pidana menghadapi suatu “vervaging”. Dan jika terdapat suatu kewenangan pada hakim untuk menggabungkan hukuman dengan tindakan, maka perbatasan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan akan menjadi samar.
Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Di dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada pelanggaran hukum; ini merupakan tuntutan keadilan. Demikian juga Hegel yang memandang pidana sebagai suatu keharusan yang logis, sebagai konsekuensi dari kejahatan, karena kejahatan adalah suatu pengingkaran terhadap ketertiban umum dari Negara, yang merupakan perwujudan dari cita-susila (sittliche Idee). Jadi pidana merupakan “Negation der Negation”.
Dengan demikian penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Hal itu berarti, bahwa penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logis linier, melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan sekalian factor yang menyertainya. Penegakan hukum lalu bukan lagi merupakan hasil deduksi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan. Dengan demikian luaran (output) dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut logika”.
Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung peringah dan pemaksaan (coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut.
Hukum menjadi tidak ada artinya apabila perintahnya tidak (dapat) dilaksanakan. Diperlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan paksaan yang secara potensial ada di dalam peraturan itu menjadi manifest . Donald Black menamakan dimensi keterlibatan manusia dalam hukum sebagai mobilisasi hukum. Dalam mobilisasi hukum inilah manusia turut campur sehingga hukum tidak hanya mengancam dan berjanji di atas kertas. “The day-by-day entry of cases into any legal system cannot be taken for granted. Cases of alleged illegality and disputes do not move automatically to legal agencies for disposition or settlement”.
Mobilisasi hukum yang dilakukan oleh para pemegang peran dalam penegakan hukum mengakibatkan diskriminasi hukum. Donal Black menyebutkan tentang adanya lima aspek variable yang menyebabkan terjadinya diskriminasi hukum, yaitu Stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi, dan pengendalian social.

2. Disparitas Pidana
Menurut Sudarto, KUHP Indonesia tidak memuat pedoman pemberian pidana straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana straftoemetingsleiddraad).
Tidak adanya pedoman pemberian pidana yang umum menyebabkan hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi atau rendahnya pidana. Bisa terjadi dalam suatu delik yang sama atau sifat berbahayanya sama tetapi pidananya tidak sama. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana dengan kehendaknya sendiri tanpa ukuran tertentu.
Berkaitan dengan tidak adanya pedoman pemberian pidana, John Kaplan mengemukakan masalah sanksi pidana bahwa salah satu aspek yang paling kacau balau dari peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pemidanaan ialah kondisi dari KUHP itu sendiri. Secara mudah dapat ditunjukkan, bahwa dikebanyakan Negara sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional .Inilah yang pada gilirannya merupakan salah satu penunjang utama adanya perbedaan perlakuan terhadap para pelanggar yang kesalahannya sebanding. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi hamper seluruh Negara di dunia, mengalami apa yang disebut sebagai “the disturbing disparity of sentencing” yang mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat di dalam system penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.
Dalam “Judical attitudes”, dimana R.M Jackson dari Cambrige itu mengadakan suatu tinjauan mengenai Process of Sentencing, maka dikemukakan bahwa apabila pengadilan itu sudah mengetahui secukupnya tentang pelanggaran hukum yang dihadapkan kepadanya, acara yang disediakan kepadanya, ia masih harus menghadapi prinsip-prinsip apakah yang harus diterapkan olehnya. Juga di Inggris ia menghadapi suatu kenyataan, bahwa pada hakekatnya tidak terdapat suatu prinsip umum dalam perundang-undangan (statutes) ataupun dalam yurisprudensi (caselaw) bagi Pengadilan-Pengadilan dalam mengadili pelanggar-pelanggar hukum yang sudah dewasa.
Penjatuhan hukuman dan polanya, merupakan suatu hal yang sangat penting, terutama di dalam proses peradilan. Seorang hakim mempunyai wewenang yang sangat besar di dalam menentukan nasib seseorang, dalam arti, untuk menentukan kehidupan maupun kebebasannya. Penerapan wewenang tersebut secara wajar, merupakan harapan dari segala pihak dalam masyarakat. Dari seorang hakim diharapkan terjadinya keadalan yang benar-benar wajar dan dianggap proporsional.
D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menemukan sebuah teori dalam proses peradilan pidana sehingga dapat mencari solusi terbaik guna meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanski pidana oleh hakim (pengadilan).
2. Untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi pengambil kebijakan guna mencegah atau mengurangi terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh hakim pengadilan).

E. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode kwalitatif dengan pendekatan non-doktrinal / empirik. Dipergunakan metode kwalitatif, mengingat dari permasalahan yang ada hendak mencari makna yang mendalam dan rinci terhadap fenomena yang diteliti. Pendekatan non-doktrinal/empirik dimaksudkan sebagai pemaparan dan pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjan ya hukum di dalam kenyataan.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat discpritis sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini. Diskriptif ini bukan dalam arti sempat, artinya dalam memberikan gambaran tentang fenomena yang ada dilakukan sesuai dengan metode penelitian. Fakta-fakta yang ada digambarkan dengan interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum karena fakta tidak mempunyai arti tanpa interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Banyumas.
4. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primair
1. Wawancara yang mendalam (indept interview)
Wawancara yang mendalam yaitu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu atau terpusat penelitian. Wawancara jenis ini merupakan proses menggali informasi secara langsung dan mendalam sebagai data primair.
2. Observasi non partisan (non participant observation)
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder diambil dari peraturan perundang-undangan, buku literatur, dokumen-dokumen serta arsip-arsip yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
5. Teknik Pengambilan Informasi
Penelitian dilakukan secara terbuka dalam arti peneliti memperkenalkan diri kepada informan sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto, serta menjelaskan bahwa kajian ini dipergunakan untuk menyelesaikan tugas akhir.

6. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dengan cara berpikir deduktif, yang terdiri dari premis mayor, premis minor dan konklusi. Premis mayor berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan materi penelitian sedangkan fakta-fakta sebagai premis minor, antara premis mayor dengan premis minor dihubungkan untuk dilakukan pembahasan yang kemudian ditarik suatu kesimpulan sebagai konklusinya.

F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dari penulisan tesis yang akan dibuat adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kerangka Teori
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian Pidana
2. Teori-Teori Hukum Pidana
3. Jenis-Jenis Pidana
B. Tujuan Pemidanaan di Indonesia
C. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan
2. Bentuk Putusan Pengadilan
D. Disparitas Pidana
1. Pengertian Disparitas Pidana
2. Dampak Disparitas Pidana
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Pidana
B. Pengaruh Disparitas Pidana Terhadap Terpidana
C. Pengaruh Disparitas Pidana Terhadap Masyarakat
D. Usaha-Usaha Untuk Mengatasi / Mengurangi Timbulnya Disparitas Pidana.
BAB IV P E N U T U P
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta.

Angkasa, 1993, “Prisonisasi dan Permasalahannya terhadap Pembinaan Narapidana (Suatu Studi di Lembaga Pemasyarakatan Semarang dan Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto)”, Tesis S-2 Hukum UNDIP, Semarang.

Aryadi, Gregorius, 1995, Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Faisal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, YA3, Malang.

Hanitijo Soemitro, Ronny, 1998, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.

Moeljatno, 2002, Azaz-azaz Hukum Pidana, Rineke Cipta , Jakarta.

Muladi, 1985, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum UNDIP , Semarang.
_______, 1986, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Namawi Arief, Barda, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara.
________ , 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
_________ , 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_________ , 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sahetapi, J.E 1988, “ Masalah-masalah Korban Ditinjau Dari Segi Viktimologi”, Ceramah Ilmiah, Fakultas Hukum UNTAG Semarang.

Said, Noor Aziz, 2002, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Sebagai Dasar Bagi Teoritisasi Hukum di Era Post Modernism”, Makalah Kuliah Teori Hukum PDIH UNDIP, Semarang.

Seno Adji, Oemar, 1984, Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta.

Soche, Herman Harris, 1985, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, PT. Hanindita, Yogyakarta.

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sutopo, H.B, 1998, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teori dan Praktis, Pusat Penelitian UNS, Surakarta.

Unger, M, 1989, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan Ifdal Kasim, ELASAM, Jakarta.

Wisnubroto, AL, 1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.

Buku Pintar Penataran P4, Tanpa Tahun, Departemen Kehakiman Repbulik Indonesia.

Penegakan hukum UNDANG-UNDANG KDRT ditinjau dari segi perspektif sosiologis hukum

Penegakan hukum UNDANG-UNDANG KDRT ditinjau dari segi perspektif sosiologis hukum

I. PENDAHULUAN
Keprihatianan warga masyarakat terutama kaum perempuan dan relawan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat dilepaskan dari semangat jaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak, yang dipandang sebagai kelompok yang paling rentan terhadap perlakuan keras.
Disahkannya UU PKDRT tersebut, merupakan suatu pemikiran yang komprehensif dari negara dengan political will untuk memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun yang menjadi kendala adalah upaya untuk mengungkap bentuk kekerasan ini tidaklah mudah, selain karena pemahaman/kesadaran masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya dipahami sebagai bentuk pelanggaran HAM, juga kekerasan dalam bentuk ini masih dilihat dalam ranah privat.
Kekerasan yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pembentukan UU PKDRT, yang memuat kriminalisasi terhadap perbuatan kekerasan pada perempuan dan anak, merupakan upaya yang telah dirintis sejak lama untuk mewujudkan lingkungan sosial yang nyaman dan membahagikan bebas dari kekerasan. Idealisme ini tentulah bukan sesuatu yang berlebihan, di tengah kehidupan abad ke-21 yang telah serba sangat maju, terasakan sebagai suatu kejanggalan, manakala lingkungan hidup yang seyogyanya dapat memberikan suasana yang memberikan perasaan termanusiakan sepenuhnya ternyata sebaliknya menjadi lingkungan yang dipenuhi kekerasan atau perilaku barbar. Dengan demikian keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini menjadi dambaan banyak pihak yang merindukan suasana kehidupan damai di dalam rumah tangga.
Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela. Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan (dalam rumah tangga) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan diaplikasikan melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

II.PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang ingin dibahas adalah “ Bagaimana prospek penegakan hukum Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ditinjau dari persepktif sosiologi hukum ?“

III.PEMBAHASAN
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum(legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture) serta dalam perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur hukum (Legal Structure).
Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi- Autonomous Social Field (Moore, 1983).
Moore juga mengatakan bahwa di antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang paling ditaati.
Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Disini Penulis ingin menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

IV. K E S I M P U L A N / P E N U T U P
Dilihat dari segi sosiologi hukum, prospek penegakan hukum UU PKDRT akan sulit ditegakkan karena banyak kendala dalam pelaksanaannya, terutama kultur budaya masyarakat Indonesia yang patriakhi yakni mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior/kuat dan perempuan sebagai makhluk inferior/lemah.

DAFTAR PUSTAKA

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.

hukum adat di dalam yurisprudensi

hukum adat di dalam yurisprudensi

Kekuasaan Kehakiman adalahkekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadlian berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5). Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat 1).
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 25 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2005).
Hakim mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi hakim bukan corong undang-undang. Hakim harus mengikuti, memahami hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum kebiasaan/hukum adat/ atau hukum tidak tertulis.
Secara sosiologis, hukum tidak tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Rehngena Purba seorang Hakim Agung, mencatat asumsi-asumsi sebagai berikut :
- Hukum tidak tertulis pasti ada karena hukum tertulis tidak akan mungkin mengatur semua kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dengan hukum;
- Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat peranan hukum tidak tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis;
- Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang dianggap adil;
- Untuk menjamin kepastian hukum memang perlu sebanyak mungkin menyusun hukum tertulis. Ini bukan berarti bahwa keadaannya pasti demikian sebab dalam bidang kehidupan yang bersifat publik, maka hukum tertulis terutama dibuat untuk mencegak kesewenang-wenangan penguasa.
Hakim atau pengadilan adalah aparatur negara yang mengetrapkan hukum. Hukum yang berlaku disuatu neara dikenal melalui keputusan-keputusan hakim. Karena mengetrapkan hukum yang berlaku itu bukan silogisme dan seringkali hukum yang tepat dan adil itu harus dicari, maka hukum yang berlaku, sekalipun itu tidak terdapat dalam Undang-undang maupun kebiasaan yang berlaku di masyarakat .
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004)
Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Menurut ilmu hukum dan filsafat hukum, maka usaha pembaharuan hukum dapat dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pembinaan hukumnya menganut teori gabungan dari apa yang dikenal sebagai aliran sociological jurisprudence dan pragmatic jurisprudence.
Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan aliran pragmatic jurisprudence adalah menghendaki bahwa dalam pembaharuan hukum itu disamping memperhatikan keadaan hukum nyata, berpegangan juga pada suatu ide tentang hukum ideal.
Jika dihubungkan dengan fungsi hukum, maka dalam pembaharuan hukum fungsi hukum dapat dibedakan atas dua macam yakni sebgai sosial kontrol yaitu sebagai alat social engineering yakni alat untuk melakukan perubahan/perombakan masyarakat. Paham pertama adalah paham Carl Freidrich Von Savigny yang terkenal dengan konsepsinya bahwa : Das Recht Wird bicht gemacht, es und wirdn nit volke, yaitu bahwa hukum itu tidak dibuat-buat melainkan ia ada dan tumbuh bersama dengan rakyat. Paham yang kedua dikembangkan oleh Roscoe Pound dari aliran American Legal Realism yang terkenal dengan konsepsinya “law as a tool of engineering”.
Pembidangan dari hukum adat itu sendiri. Menurut BPHN pembidangan hukum adat adalah :
1. Hukum adat tentang organisasi/persekutuan hukum
2. Hukum tentang pribadi/orang
3. Hukum kekerabatan/keluarga
4. Hukum perkawinan
5. Hukum Waris
6. Hukum Tanah
7. Hukum Perhutangan
8. Hukum Tentang Delik.
Mahkamah Agung baru mempunyai kekuasaan dalam pemutusan suatu perkara apabila ada permohonan pemeriksaan kasasi dalam suatu perkara tersebut. Putusan Mahkamah Agung tersebut bilama diikuti dan dipedomani oleh putusan dalam perkara yang sama, maka putusan tersebut akan dijadikan yurisprudensi. Dalam kajian teori, yurisprudensi bertujuan to settled law Standart yakni untuk menetapkan standar hukum yang sama mengenai perkara yang sama. Perwujudan Law Standart melalui yurisprudensi diharapkan dapat menciptakan suasana “Unified legal opinion (persepsi hukum yang sama) diantara seluruh Pengadilan dan para Hakim dalam penyelesaian perkara yang sama”.
Terciptanya suasana Unified legal opinion dalam kehidupan praktek peradilan, menjadi landasan terbinanya kepastian penegakan hukum. Hal ini disebabkan dengan adanya standar hukum yang diterangkan dalam putusan-putusan pengadilan mengenai kasus yang sama, akan terhindar dari putusan-putusan yang berdisparitas antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian yurisprudensi berbakat standar hukum sangat berperan untuk menegakkan kepastian hukum dalam kehidupan masayarakat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba Rehngena, diperoleh gambaran putusan Mahkamah Agung yang berhubungan dengan Hukum Adat atau hukum yang hidup di masyarakat sebagai berikut :
a. Dewasa
b. Perwalian
c. Hak Waris Anak
d. Kedudukan Harta Pencaharian Bersama
e. Anak Angkat
f. Pemilikan Atas Tanah
g. Hak Komunal/Hak Ulayat
h. Hak Numpang/Hak Pengabdian
i. Asas Pemisahan Horizontal
j. Peralihan Hak
k. Hibah
l. Gadai Tanah
m. Lembaga Kadaluwarsa
n. Penyelesaian Sengketa
o. Hukum Adat Lokal
p. perbuatan Melawan Hukum

Sistem hukum pidana minimum

Sistem hukum pidana minimum

Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan; faktor aparat/penegak hukum; dan faktor kesadaran hukum . Faktor perundang-udnangan-dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi hukum pidana materiil (hukum pidana substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) maupun hukum pelaksanaan pidana. Berkaitan dengan faktor perundang-undangan pidana ini, Ketua Mahkamah Agung R.I., Bagir Manan mengatakan, bahwa dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum pidana tersebut, adalah isi/hasil penegakan hukum (substantif justice) dan tata cara penegakan hukum (procedural justice).
Untuk faktor perundang-udangan inipun terkait dengan tahapan-tahapan kebijakan formulatif (legislatif). Kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekusi). Dapat dikatakan, bahwa pada tahap kebijakan formulatif merupakan penegakan hukum “in abstracto”, yang pada gilirannya akan diwujudkan dalam penegakan hukum “in concreto”. (melalui tahap kebijakan aplikasi dan eksekusi).
Pemidanaan dapat dilihat sebagai rangkain proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahapan berikut yaitu : tahapan legislatif (legislatif). Kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekusi). Oleh karena pemidanaan adalah sarana yang dipakai dalam penegakan hukum pidan, maka dikatakan bahwa penegakan hukum pidana bukan hanya menjadi tugas kewajiban aparat penegak hukum atau yudikatif dan pelaksana hukum atau eksekutif, tetapi juga menjadi tugas kewajiban aparat pembuat hukum atau legislatif.
Dan, apabila harus diperbandingkan diantara ketiga tahapan tersebut, maka kebijakan yang dibuat aparat pembuat undang-undang (kebijakan formulatif) merupakan tahap yang strategis. Letak strategisnya adalah karena garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legistatif merupakan landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana pidana (aparat eksekutif/administratif). Hal ini juga berarti, apabila dalam tahap kebijakan (formulatif) ini terdapat kelemahan perumusan pada sistem pemidanaannya, maka eksisnya berimbas pada tahap-tahap berikutnya (tahap aplikasi dan tahap eksekusi). Dengan perkataan lain, kelemahan penegakan hukum pidana “in abstacto” akan membawa pengaruh pada kelemahan penegakan hukum “in concreto”. Terlihatlah betapa urgennya kebijakan legislatif (kebijakan formulatif) mengenai hukum pidana dalam keseluruhan penegakan hukum pidana tersebut.
Dalam praktek pembuatan perundang-udnangan di Indonesia, penggunaan pidana sebagai bagaian dari politik atau kebijakan hukum pidana sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hampir selalu dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus, pada setiap kebijakan pembuatan perundang-udangan pidana di Indonesia dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihan atau penentuannya.
Dari bermacam produk perundang-udangan pidana di Indonesia akhir-akhir ini, ada yang menentukan pidana maksimum khusus saja, namun ada beberapa lainnya, utamanya pada delik-delik tertentu, sekaligus disebutkan pidana maksimum khusus dan minimum khususnya, baik dengan perumusan alternatif, atau komulatif, atau juga kumulatif-alternatif.
Selanjutnya dalam tatran aplikasi, pada delik-delik tertentu sebagaimana didakwakan penuntut umum kepada terdakwa, ternyata ada beberapa hakim (dengan pertimbangan hukum tertentu) yang menjatuhkan pidana di bawah batas/limit ancaman pidana minimal khusus dalam rumusan deliknya, pada hal sesungguhnya pembuat undang-undang menetapkan pidana minimum khusus untuk delik-delik tertentu tersebut bukan tanpa maksud dan tujuan.
Ditingkat aplikasi, suatu putusan pidana yang dijatuhkan hakim dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Ini karena dalam proses penjatuhan pidana, di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga di dalamnya terkait dengan aspek sosiologis dan aspek filosofis.
Sebagaimana kaidah hukum, maka suatu putusan pidana, idealnya juga harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut :yuridis, sosiologis dan filosofis. Hakim akan menggunakan metode analisis yuridis komprehensif untuk memecahkan hukum dari perkara yang ditanganinya. Aspek yuridis sebagai pendekatan pertama dan utama yaitu sesui dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pendekatan filosofis yaitu berintikan pada kebenaran dan rasa keadilan, sedangkan pendekatan sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat.
Perihal pentingnya suatu putusan pidana, harus memenuhi tiga unsur : yuridis, sosiologis dan filosofis tersebut, Soerjono Soekanto, mengemukan alasannya sebagai berikut : apabila hanya mementingkan aspek yuridisnya, maka putusannya menjadi tidak hidup; apabila hanya mementingkan aspek sosiologisnya, maka putusannya menjadi sarana pemaksa; dan apabila hanya mementingkan aspek filosofisnya, maka putusannya menjadi tidak realistik.
Ada wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan reaksi dan sikap kritis terhadap beragamnya stafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya issue disparitas pidana (disparity of sentencing) diantara delik-delik tertentu tersebut.
Menurut Cheang, disparitas pidana (disparity of sentencing) yang dimaksudkan disini adalah penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidna yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriosness) tanpa disertai dasar pertimbangan atau penalaran yang sahih (valid reason). Jackson menambahkan, bahwa disparitas pidana juga dapat terjadi pada pemidanaan yang berbeda terhadap dua orang atau lebih terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana secara bersama-sama (complicity), namun tanpa pertimbangan yang rasional. Karenanya, sebagaimana pendapat Sudarto, bahwa masalahnya bukan pada menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi bagaimana disparitas tersebut harus reasonable.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dilihat dari sumbernya, maka faktor penyebab disparitas pidana selain berasal dari hakim (yang menjatuhkan putusan pidana), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan perundang-undangan). Masalah pemidanaan hanyalah merupakan salah satu sub-sistem dalam sistem penyelenggaran hukum pidana. Masalah disparitas pidana yang juga menjadi bagian dari masalah pemidanaan, karenanya juga bersifat multikausal. Namun secara sederhana, dapat dikatakan bahwa disparitas pidana yang bersumber dari hukum positif atau peraturan perundang-undangan, antara lain adalah karena belum diaturnya pedoman penjatuhan pidana (statutory guidelines for sentencing atau straftoemetingsleidraad, sedangkan yang bersumber dari hakim antara lain karena adanya pemahaman idiologis yang beragam terhadap philosophy of punishment, setidaknya dalam mengikuti aliran hukum pidana (aliran klasik ataukah aliran modern) dan selanjutnya (berdampak pada) implementasi kebebesan hakim (judicial discreation) dalam memilik jenis pidana (strafsoort) dan menentukan berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti melakukan suatu tindak pidana.
Perihal disparitas pidana yang bersumber dari hakim, juga pernah dikemukakan oleh Roem Dhaamdusdi, seorang hakim senior pada pengadilan pidana Thailand yang mengatakan : “ idealnya pidana yang dijatuhkan oleh hakim atas tindak pidana yang serupa haruslah sama, akan tetapi tampaknya dalam praktek hal ini sukar dilaksanakan, disebabkan masing-masing hakim mempunyai ide pemahaman sendiri-sendiri tentang penjatuhan pidana”.
Dilatarbelakangi oleh pertama, adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal obyektif untuk delik-delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan/membahayakan masyarakat/negara, serta ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut, disamping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.
Membahayakan dan meresahkan masyarakat,maka lembaga pembuat undang-undang kemudian menentukan,bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut,disamping ada pidana maksimum khususnya,juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.
Ide dasar sistem pidana minimum khususnya tersebut kemudian(idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kreteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus.Ini berarti, pemegang kebijakan legislasidalam membuat undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pinada minimum khusus di dalam rumusan deliknya,dengan tanpa memperhatikan kreteria kualitatif sistem pidana minimum khusus.
Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki “sistem pemidanaan yang bersifat nasional” yang di dalamnya mencakup “pola pemidanaan” dan “pedoman pemidanaan”,yaitu acuan/pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat /menyusun peraturan perundang –undangan yang mengandung sanksi pidana.Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut “pedoman legislatif” atau “pedoman formulatif”. Sedangkan “pedoman pemidanan” adalah pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim (“pedoman yudikatif”/”pedoman aplikatif”) Dilihat dari fungsi keberadaannya,maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP nasional dibuat.
Memang kita sudah memiliki UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun substansi undang-undang ini adalah lebih mengenai asas, proses? prosedur penyiapan, pembahasan, tiknis penyusunan dan pemberlakuannya .Undang-undang ini sama sekali tidak menyinggung tentang “pemidanaan”, setidaknya hal-halyang berkaitan tentang jenis pidana (strafsoort),kreteria sedikit lamanya pidana (strafmaat) serta cara pelaksanaan pidana (strafmodus).
Meski Indonesia belum memiliki “pola pemidanaan” yang berkaitan dengan kreteria kualitatif dan kuantitatif penentuan pidana minimum khusus,namun bilanmenyadari bahwa efektivitas penegakan hukum itu bertitik tolak dari kualitas produk kebijakan legislatif, maka melihat perkembangan doktrin pidana dan atau melakakan studi komparasi pada beberapa perundang-undangan pidana negara lain yang sudah mengatur hal itu adalah salh satu solusinya.
Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan hukum Pidana, delik-delik tertentu yang ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter berikut :
a.Delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat;
b.Delik-delik yang dikualifisir atau diperbeart oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte).
Lebih jauh Muladi mengatakan, bahwa terhadap delik-delik berkarakter tersebut di atas utamanya yang berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan negara, maka hukum pidana harus tampil sebagai primum remidium.
Selanjutnya menurut H.G. De Bunt, hukum pidana berperan sebagai primum remidium, apabila :
-Korban sangat besar
-Terdakwa residivis
-Kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable)
Selanjutnya untuk ukuran kuantitatif, tidak ada bahan rujukan baku. Salah satu solusinya adalah dengan membandingkannya dengan formulasi pidana minimum khusus di beberapa KUHP negara lain.
Ada beberapa contoh undang-undang khusus yang mencantumkan pidana minimum khusus di dlam rumusan deliknya, diantaranya adalah UU Nomor 7 Tahun 1992 junto UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU nomor 22 Tahun 1992 tentang Narkotika; UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat; UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; UU nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara; UU nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD; UU nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; UU Nomor 15 Tahun 2002 junto UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumu; UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Lembaga Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang di atas, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka nampak hal-hal sebagai berikut :
1.Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan dan denda) berapa dapat dimulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan ukuran tahun dan ada juga yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda, ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran milyaran rupiah.
2.Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum khususnya. Demikian juga dengan pidana kurungan minimum khususnya dan pidana denda minimum khusus. Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan bahwa delik-delik tersebut merupakan delik-delik yang sangat membahayakan/meresahkan masyarakat, dan atau delik0delik yang dikualifisir atau diperberat akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte).
3.Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio, antara maksimum khusus dengan minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda.
Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus sebagaimana tersebut di atas, adalah bersumber pada belum adanya “pola pemidanaan” yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legistlasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya potensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di tingkat kebijakan aplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, bandung, 1981.
2. Rahardjo Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjaun Sosiolgis, BPHN Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1983.
3. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
4. Juwana Hikmahanto, Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia, Varia Peradilan, Tahun XXI Nomor 244, Maret 2006.
5. J. Djohansah, Legal Justice Social Justice dan Moral Justice dalam praktek, Makalah, Mahkamah Agung, Jakarta, 2004.
6. Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Citra Adiatya Bhakti, Bandung, 1989
7. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
8. Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia dimasa datang, Pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.
9. Atmasasmita Romli, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Bogor, 2003.
10. Bagir Manan, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XX Nomor 241 Nopember 2005.