hukum adat di dalam yurisprudensi
Kekuasaan Kehakiman adalahkekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadlian
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia (pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5).
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16
ayat 1).
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 25 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun
2005).
Hakim mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi
hakim bukan corong undang-undang. Hakim harus mengikuti, memahami hukum
dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum kebiasaan/hukum
adat/ atau hukum tidak tertulis.
Secara sosiologis, hukum tidak
tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat. Sehubungan
dengan hal itu, Rehngena Purba seorang Hakim Agung, mencatat
asumsi-asumsi sebagai berikut :
- Hukum tidak tertulis pasti ada
karena hukum tertulis tidak akan mungkin mengatur semua kebutuhan
masyarakat yang perlu diatur dengan hukum;
- Pada masyarakat yang
sedang mengalami perubahan sosial yang cepat peranan hukum tidak
tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis;
- Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang dianggap adil;
-
Untuk menjamin kepastian hukum memang perlu sebanyak mungkin menyusun
hukum tertulis. Ini bukan berarti bahwa keadaannya pasti demikian sebab
dalam bidang kehidupan yang bersifat publik, maka hukum tertulis
terutama dibuat untuk mencegak kesewenang-wenangan penguasa.
Hakim atau pengadilan adalah aparatur negara yang mengetrapkan hukum.
Hukum yang berlaku disuatu neara dikenal melalui keputusan-keputusan
hakim. Karena mengetrapkan hukum yang berlaku itu bukan silogisme dan
seringkali hukum yang tepat dan adil itu harus dicari, maka hukum yang
berlaku, sekalipun itu tidak terdapat dalam Undang-undang maupun
kebiasaan yang berlaku di masyarakat .
Hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004)
Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak
tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
Menurut ilmu hukum dan filsafat hukum,
maka usaha pembaharuan hukum dapat dikatakan bahwa Negara Republik
Indonesia dalam kebijaksanaan pembinaan hukumnya menganut teori gabungan
dari apa yang dikenal sebagai aliran sociological jurisprudence dan
pragmatic jurisprudence.
Aliran sociological jurisprudence
ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan
hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan aliran
pragmatic jurisprudence adalah menghendaki bahwa dalam pembaharuan hukum
itu disamping memperhatikan keadaan hukum nyata, berpegangan juga pada
suatu ide tentang hukum ideal.
Jika dihubungkan dengan fungsi
hukum, maka dalam pembaharuan hukum fungsi hukum dapat dibedakan atas
dua macam yakni sebgai sosial kontrol yaitu sebagai alat social
engineering yakni alat untuk melakukan perubahan/perombakan masyarakat.
Paham pertama adalah paham Carl Freidrich Von Savigny yang terkenal
dengan konsepsinya bahwa : Das Recht Wird bicht gemacht, es und wirdn
nit volke, yaitu bahwa hukum itu tidak dibuat-buat melainkan ia ada dan
tumbuh bersama dengan rakyat. Paham yang kedua dikembangkan oleh Roscoe
Pound dari aliran American Legal Realism yang terkenal dengan
konsepsinya “law as a tool of engineering”.
Pembidangan dari hukum adat itu sendiri. Menurut BPHN pembidangan hukum adat adalah :
1. Hukum adat tentang organisasi/persekutuan hukum
2. Hukum tentang pribadi/orang
3. Hukum kekerabatan/keluarga
4. Hukum perkawinan
5. Hukum Waris
6. Hukum Tanah
7. Hukum Perhutangan
8. Hukum Tentang Delik.
Mahkamah Agung baru mempunyai kekuasaan dalam pemutusan suatu
perkara apabila ada permohonan pemeriksaan kasasi dalam suatu perkara
tersebut. Putusan Mahkamah Agung tersebut bilama diikuti dan dipedomani
oleh putusan dalam perkara yang sama, maka putusan tersebut akan
dijadikan yurisprudensi. Dalam kajian teori, yurisprudensi bertujuan to
settled law Standart yakni untuk menetapkan standar hukum yang sama
mengenai perkara yang sama. Perwujudan Law Standart melalui
yurisprudensi diharapkan dapat menciptakan suasana “Unified legal
opinion (persepsi hukum yang sama) diantara seluruh Pengadilan dan para
Hakim dalam penyelesaian perkara yang sama”.
Terciptanya suasana
Unified legal opinion dalam kehidupan praktek peradilan, menjadi
landasan terbinanya kepastian penegakan hukum. Hal ini disebabkan dengan
adanya standar hukum yang diterangkan dalam putusan-putusan pengadilan
mengenai kasus yang sama, akan terhindar dari putusan-putusan yang
berdisparitas antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian
yurisprudensi berbakat standar hukum sangat berperan untuk menegakkan
kepastian hukum dalam kehidupan masayarakat.
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Purba Rehngena, diperoleh gambaran
putusan Mahkamah Agung yang berhubungan dengan Hukum Adat atau hukum
yang hidup di masyarakat sebagai berikut :
a. Dewasa
b. Perwalian
c. Hak Waris Anak
d. Kedudukan Harta Pencaharian Bersama
e. Anak Angkat
f. Pemilikan Atas Tanah
g. Hak Komunal/Hak Ulayat
h. Hak Numpang/Hak Pengabdian
i. Asas Pemisahan Horizontal
j. Peralihan Hak
k. Hibah
l. Gadai Tanah
m. Lembaga Kadaluwarsa
n. Penyelesaian Sengketa
o. Hukum Adat Lokal
p. perbuatan Melawan Hukum
No comments:
Post a Comment